Whistleblowing
Hubungan Etika, Komitmen, Profesionalisme dengan Whistleblowing
Menurut KNKG (2008) Whistleblowing adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau perbuatan yang melawan hukum, tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi atau pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut.
Whistleblowing dapat terjadi dari dalam (internal) maupun luar (eksternal). Internal Whistleblowing terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan karyawan lainnya kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya. Sedangkan eksternal whistleblowing terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaan lalu memberitahukannya kepada masyarakat karena kecurangan itu akan merugikan masyarakat (Elias, 2008).
Whistleblowing dapat terjadi dari dalam (internal) maupun luar (eksternal). Internal Whistleblowing terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan karyawan lainnya kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya. Sedangkan eksternal whistleblowing terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaan lalu memberitahukannya kepada masyarakat karena kecurangan itu akan merugikan masyarakat (Elias, 2008).
Whistleblower adalah seorang pegawai dalam organisasi yang memberitahukan kepada publik atau pejabat yang berkuasa tentang dugaan ketidakjujuran, kegiatan ilegal atau kesalahan yang terjadi di departemen pemerintahan, organisasi publik, organisasi swasta, atau pada suatu perusahaan (Susmanschi, 2012).
Orientasi etika adalah tujuan
utama perilaku profesional yang
berkaitan erat dengan moral dan
nilai-nilai yang berlaku dan digerakkan oleh dua karakteristik yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme berhubungan dengan tingkat dimana individual percaya bahwa konsekuensi
yang diinginkan (konse-kuensi positif) tanpa melanggar kaidah moral.
Sikap idealis juga diartikan sebagai
sikap tidak memihak dan terhindar
dari berbagai kepentingan. Di sisi
lain, sikap relativisme secara implisit
menolak moral absolut pada perilakunya (Forsyth, 1980)
Idealisme didefinisikan sebagai
suatu sikap yang menganggap
bahwa tindakan yang tepat atau
benar akan menimbulkan konsekuensi atau hasil yang diinginkan. Seseorang yang idealis mempunyai
prinsip bahwa [merugikan orang lain
adalah hal yang selalu dapat dihindari dan mereka tidak akan melakukan tindakan yang mengarah pada
tindakan yang berkonsekuensi negatif. Jika terdapat dua pilihan yang keduanya akan berakibat negatif
terhadap individu lain, maka seorang
yang idealis akan mengambil pilihan
yang paling sedikit mengakibatkan
akibat buruk pada individu lain.
Forsyth (1980) mengemukakan
Relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang
absolut dalam mengarahkan perilaku.
Dalam hal ini individu masih mempertimbangkan beberapa nilai dari
dalam dirinya maupun lingkungan
sekitar. Relativisme etis merupakan
teori yang menyatakan bahwa suatu
tindakan dapat dikatakan etis atau tidak, benar atau salah, yang tergantung kepada pandangan masyarakat.
“Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang membulatkan hati dan tekad demi mencapai sebuah tujuan, sekalipun ia belum dapat mengetahui hasil akhir dari tujuan tersebut. Berjerih payah dan berkorban demi menyelesaikan "Tujuannya" sekalipun semua orang meninggalkannya.” (Anonym)
Komitmen profesional adalah
tingkat loyalitas individu pada profesinya seperti yang dipersepsikan oleh
individu tersebut (Aranya et all,
1981). Whistleblowing dapat digambarkan sebagai suatu proses yang
melibatkan faktor pribadi. Semakin
tinggi komitmen profesional maka
akan semakin tinggi pula untuk
menganggap bahwa Whistleblowing
menjadi suatu hal yang penting.
Sensitivitas etis adalah kemampuan untuk mengetahui masalah-masalah etis yang terjadi (Shaub, 1989). Falah (2006) menjelaskan bahwa kemampuan seorang profesional untuk berperilaku etis sangat dipengaruhi oleh sensitivitas individu tersebut. Individu yang tidak mengakui sifat dasar etika dalam keputusan, skema moralnya tidak akan mengarah pada masalah etika tersebut. Jadi kemampuan untuk mengakui sifat dasar etika dari sebuah keputusan merupakan sensitivitas etika.